Jika kita merujuk kepada sumber lain, misalnya informasi dari Kaba Cindua Mato, maka silsilah Rajo Megat dan Puteri Singgang akan sedikit berbeda, karena ada tokoh lain yang tidak tertulis dalamTembo Rejang Empat Petulai, yaitu tokoh Sultan Remendung yang Dalam Kaba Cindua Mato terkenal dengan sebutan Dang Tuanku.
fhoto hanya ilustrasi |
- Bundo Kandung (Putri Panjang Rambut II) Raja Alam Minangkabau adalah Adik Kandung Raja Megat ( Sultan Saktai Rajo Jonggor = Dewang Bano Rajowano), Mereka adalah putra putri Tuanku Maharaja Sakti (Dewang Pandang Putrawana), cucu Ananggawarman (Dewang Baremah Sanggowano).
- Dang Tuanku'Sultan Remendung' (Dewang Pandan Salasih Sri Raiwano) adalah Raja Pagaruyung, putra Bundo Kanduang dengan Bujang Salamat (Tuanku Bujanggo Salamat Panjang Gombak) alias Hyang Indera Jati dari dinasti Makhudum di Sumanik. Dia ditunangkan dengan Puti Bungsu, sepupunya, anak dari pamannya Rajo Mudo alias Sutan Saktai Gelar Rajo Jonggor. Dalam Tambo Rejang Empat Petulai anak perempuan Rajo Megat bernama Putri Singgang yang kawin dengan Biku Bermano. Dari dua sumber ini dapat di duga Dang Tuanku’ Sultan Rumendung’ (Dewang Pandan Salasih Sri Raiwano) adalah Biku Bermano dan Istrinya Putri Bungsu adalah Putri Singgang.
- Imbang Jayo adalah raja Sungai Ngiang, rantau Minangkabau sebelah selatan yakni di sekitar Sangir dan Kerinci. Dia berusaha merebut Puti Bungsu, yang sudah ditunangkan.
Dalam Blognya H Aulia Tasman menulis : Dalam satu versi sejarah, masyarakat Nagari Lunang, Pesisir Selatan, mengatakan, bahwa keluarga Bundo Kandung, raja yang mengirap itulah yang disebut keluarga pertama Mande Rubiah, yang kini mempunyai istana khusus di daerah itu.
Pembenaran ke arah ini, diperkuat dengan beberapa bentuk peninggalan bersejarah. Seperti adanya benda-benda kerajaan yang tersimpan rapi di rumah Mande Rubiah hingga sekarang. Selain benda pusaka dari piring cawan hingga senjata perang itu, juga terdapat di sekitar rumah Mande Rubiah, perkuburan tua. Pada perkuburan itu konon, dimakamkan Bundo Kandung dan anaknya Dang Tuanku beserta istrinya Puti Bungsu. Selain itu di sekitar rumah Mande Rubiah terdapat, kuburan Cindur Mato, yang dikenal dalam legenda Minangkabau sebagai seorang parewa yang ahli siasat perang.
Pada versi lain, seperti orang yang pernah datang ke Lunang, mereka terkesan dengan suasana daerah di Pesisir Pulau Sumatra itu dan tentu akan berpesan kepada siapapun yang akan pergi ke Lunang, agar tidak lupa datang ke Rumah Gadang atau istana Mande Rubiah. Di Rumah Gadang yang terdapat di pinggir Batang Lunang itulah dibangun sejarah yang sampai kini masih belum dapat dikuak oleh para ahli sejarah atau disengaja untuk diakui karena sentimen daerah karena wilayah ini tidak digadang-gadangkan sebagai daerah istimewa yang termasuk dalam Luhak Nan Tiga (Tanah Datar, Agam dan 50 Kota) saja yang diagungkan sebagai titik mula sejarah Minangkabau. Apa sebenarnya yang terjadi ratusan tahun lalu di daerah itu.
Kaburnya sejarah Rumah Gadang Mande Rubiah, berkaitan erat dengan kaburnya sejarah Minangkabau sendiri. Banyak orang mengenal kerajaan di Minangkabau hanyalah Kerajaan Pagarruyung, padahal Kerajaan Pagarruyung hanya salah satu dari sekian banyak kerajaan yang pernah ada di tanah Minangkabau. Sebut saja Kerajaan Indopuro, Kerajaan Dharmasraya, Kerajaan Padang Laweh, Kerajaan Jambu Lipo dan Kerajaan Mande Rubiah. Kerajaan yang terakhir ini disebut-sebut sebagai pewaris tahta Bundo Kanduang yang dikenal sebagai Raja Perempuan Pagarruyung yang paling termasyhur dan melegenda di tengah-tengah masyarakat Minangkabau.
Bundo Kanduang bagi banyak ahli sejarah tetap saja sebagai tokoh yang misterius keberadaannya. Hal ini bisa jadi karena Minangkabau sebelum Islam masuk ke daerah ini tidak mengenal tradisi menulis, sehingga sejarah hanya diwariskan secara lisan dari mulut ke mulut. Tidak hanya sebatas itu akan tetapi sejarah pun dibungkus dalam bentuk cerita yang disebut di Ranah Minang sebagai Kaba.
Bundo Kanduang, yang kemudian berganti nama menjadi Mande Rubiah, sampai sekarang tahta kebesarannya masih berlanjut hingga Mande Rubiah VII. Keberadaan Mande Rubiah sebagai penerus kebesaran Bundo Kanduang diakui di tengah-tengah masyarakat tidak hanya di Nagari Lunang, akan tetapi sampai ke daerah-daerah yang pernah dipengaruhi oleh kekuasaan Minangkabau seperti Indopuro, Muko-Muko (Bengkulu), Jambi, dan Palembang. Bahkan sampai sekarang masih ada masyarakat dari Air Bangis, yang mencari nenek moyang mereka ke Nagari Lunang.(40 Km dari Lebong).
C.DATUK IMBANG JAYO
Synopsis Kaba Klasik Minangkabau yang ditulis Dalam MALPU 145 oleh H. Aulia Tasman :
“Rajo Mudo, raja Sikalawi memutuskan pertunangan anaknya Puti Bungsu dengan Dang Tuanku. Ia mendapat kabar bahwa Dang Tuanku telah menderita penyakit yang tidak bisa disembuhkan lagi dan telah diusir dari istana Pagaruyuang.
Hilangnya Puti Bungsu dari Sikalawi membuat berang Rajo Imbang Jayo. Bersama ribuan balatentaranya ia menuju Pagaruyuang. Dalam perjalanannya itu ia dihadang oleh para penyamun di Bukit Tambun Tulang. Akibatnya banyak rakyatnya yang mati. Sampai di Tabek Patah ia pun dihadang oleh Cindua Mato. Dalam peperangan itu Cindua Mato, kuda Si Gumarang dan kerbau Si Binuang mengamuk sejadi-jadinya sehingga Rajo Imbang Jayo dengan rakyatnya mengambil langkah seribu. Mereka lari terbirit-birit menyelamatkan diri dan akhirnya sampai ke Padang Gantiang. Di Padang Gantiang ini Rajo Imbang Jayo dihukum mati oleh Rajo Duo Selo karena kesalahannya menggaji para penyamun di Bukit Tambun Tulang.
Berita kematian Rajo Imbang Jayo sampai pula ke telinga bapaknya Rajo Tiang Bungkuak. Alangkah marahnya Tiang Bungkuak. Ia pun segera ke Pagaruyuang untuk menuntut balas atas kematian anaknya Rajo Imbang Jayo. Maka terjadilah peperangan. Dubalang lawan dubalang, pangulu lawan pangulu, pegawai lawan pegawai, dan Tiang Bungkuak berhadapan dengan Cindua Mato.
Dalam perkelahian itu tidak ada yang kalah. Keduanya sama-sama sakti dan kebal terhadap senjata apapun. Akhirnya Cindua Mato menyerahkan diri kepada Tiang Bungkuak atas pertimbangan untuk memperkecil bencana yang mungkin akan menimpa rakyat Pagaruyuang. Ia pun dibawa ke Sungai Ngiang menjadi budak Tiang Bungkuak. Dalam satu kesempatan ia berhasil mengetahui di mana kelemahan Tiang Bungkuak. Tiang Bungkuak hanya bisa terbunuh dengan sebilah keris yang disimpannya di atas tonggak bungkuk. Dengan keris itulah Cindua Mato berhasil membunuh Tiang Bungkuak dalam suatu pertarungan yang disaksikan oleh Rajo Mudo dan permaisurinya serta rakyat Tiang Bungkuak.”
Dalam Tembo Rejang Empat Petulai, kasus seperti yang diceritakan dalam kaba Cindua Mato tidak diungkapkan. Hanya di ceritakan bahwa “Tuan Biku Sepanjang Jiwo tiada berapa lama menjadi raja di Marga Tubei lalu kembalilah ke Mojopahit, dengan tiada meninggalkan turunan di Lebong. Yang menjadi gantinya ialah Tuan Sulutan Rajo Megat atau Tuan Rajo Jonggor anak Raja dari Pagar Ruyung (Menurut keterangan Mibang Dusun Muara Ketayu Marga Suku IX bahwa Tuan Biku Sepanjang Jiwo ialah anak Raja dari Pagar Ruyung dan menantu dari Ratu Mojopahit. Bahwa beliau inilah yang dimaksud orang dengan Datu Imbang Jayo. Beliau ini dipanggil kembali ke Pagar Ruyung akan menjabat pangkat yang tinggi disana dan sebagai gantinya dia suruh pamannya Tuan Sulutan Rajo Megat yang dituduh bersalah membuat sumbang di Pagar Ruyung. Beliau ini kawin dengan Puteri Gilang adik Riyo Bilang di Dusun Pelabai).”
Kesesuaian kedua tembo ini adalah bahwa Biku Sepanjang Jiwo semula menjadi Rajo Jang kemudian di gantikan oleh pamannya (Rajo Megat Sultan Saktai Rajo Jonggor), beliau kembali ke Pagar Ruyung dan tidak meninggalkan keturunan di Rejang. Informasi ini menarik, karena perseteruan antara Bundo Kanduang (Puti Panjang Rambuik II) dan Rajo Megat dan perseteruan Dang Tuanku (Sultan Rumendung) dan Datuk Imbang Jayo bukan sekedar masalah pertunangan Putri Bungsu dengan Dang Tuanku saja, tetapi berkaitan dengan masalah-masalah kekerabatan menurut tradisi minang (matrilineal), masalah harga diri keluarga, adat, dan lebih jauh berkaitan dengan politik dan kelanjutan tahta Pagar Ruyung dalam transisi sosial dengan semakin kuatnya pengaruh Islam dalam kalangan kerabat istana.
Jika kita berkesimpulan bahwa Datuk Imbang Jayo adalah tokoh Biku Sepanjang Jiwo dalam sejarah Rejang, maka kepulangan beliau ke Pagar Ruyung dan menyerahkan kekuasaan kepada Rajo Megat bukan tanpa alasan, tetapi sebagai sebagai sasaran antara untuk target politik yang lebih panjang, yaitu penguasaan tahta Pagaruyung dikemudian hari. Rajo Megat adalah pewaris tahta Pagaruyung, perkawinan Puteri Bungsu (Puteri Singgang) dengan Datuk Imbang Jayo (Biku Sepanjang Jiwo) merupakan perkawinan politik untuk mengukuhkan Dinasti Mahudum Sumanik. Datuk Imbang Jayo adalah Putera Rajo Kurinci (Sungai Ngiang) bernama Tiang Bungkuk (Gelar Rio Dipati) adalah anak dari adik sepupu dari Bujang Salamaik (Bujanggo Panjang Gombak). Oleh karenanya Bundo Kandung berkepentingan untuk mempertahankan perjanjian pertunangan Dang Tuanku dengan Puteri Bungsu. Datuk Imbang Jayo ( Biku Sepanjang Jiwo) tidak meninggalkan keturunan di Rejang maupun di Kurinci (Sungai Ngiang) karena beliau gugur dalam peperangan melawan Cindua Mato (Dewang Sri Ramawarna)
Bersambung.......
Sumber : Ki Ngabdulloh Santoso