-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

MELACAK TRAH MAJAPAHIT DI REJANG MELALUI PAGARUYUNG

Senin, 05 Oktober 2020 | 10/05/2020 06:49:00 AM WIB | 0 Views Last Updated 2020-10-04T23:49:01Z


“Di lingkungan Istana Pagaruyung (Si Lindung Bulan), setiap ada acara kebesaran maka di atas pentas selalu disediakan 4 (empat kursi) sebagai perlambang dari 4 orang anak Dang Tuanku Syah Alam, Raja Kerajaan Pagaruyung (1. Puti Reno Pati Dewi; 2. Dewang Sari Dewano (berkembang di Rejang – Bengkulu); 3. Puti Reno Sari – Lindung Bulan; dan 4. Dewang Peniting Putrawono), namun sejak dulu kursi no 4. (anak ke empat) itu selalu kosong karena kerajaan Pagaruyung kehilangan jejak dimana keturunan anak ke empat itu berada dan berkembang). Bertahun-tahun prosesi di istana Lindung Bulan selalu menjadi pertanyaan siapa yang seharusnya duduk di kursi ke empat tersebut. 

Sekian puluh tahun bahkan ratusan tahun kursi no. 4 itu dibiarkan kosong, namun karena anak ke empat dari raja Pagaruyung tersebut berada di Kerinci dan tidak pernah kembali ke Pagaruyung maka, oleh keturunan-keturunan beliau di Pulau Sangkar cerita tersebut selalu diwariskan. Jadi setelah 84 tahun terjadi kevakuman di Lembaga Adat Rencong Telang maka panitia perayaan mencoba merajut kembali jejak sejarah tersebut ke istana Lindung Bulan di Pagaruyung. Sehingga bak gayung bersambut, mereka sangat berbahagia karena ‘si anak hilang’ sudah dapat diketahui keberadaannya.” 

Tulisan  H. Aulia Tasman Gelar Depati Muara Langkap dalam blognya, (MEMBONGKAR ADAT LAMO PUSAKO USANG – Seri ke 296, 2017),  mengugah kita akan pentingnya kesadaran sejarah anak Nusantara agar tidak tercerabut dari akarnya. Sebagai bangsa yang besar sejarah kita terkait hubung, berangkai dan berkorelasi merajut Nusantara menjadi peradaban. Kesadaran sejarah ini perlu dikembangkan untuk menyelesaikan permasalahan kontemporer saat ini. Konflik batas wilayah, kerja sama budaya, parawisata, perdagangan misalnya dapat di lakukan dengan pendekatan kesadaran sejarah.

Suku bangsa Rejang dikenal dalam dunia akademik sebagai suku bangsa yang mempunyai peradaban cukup tinggi, terutama dalam bidang hukum, bahasa sastra, arsitektur, kriya, kuliner, teknologi pertanian dan kearipan lokal lainnya, oleh karena itu perlu mewaspadai gejala peluruhan apresiasi terhadap khasanah budaya, peluruhan eksistensi dan kehilangan kesadaran sejarahnya. Perlu adanya upaya-upaya  aktualisasi, pelurusan, penggalian, penelitian dan internalisasi sejarah suku bangsa Rejang terutama kepada generasi milenial agar mereka tidak asing berada dalam budayanya sendiri.

Kelemahan sejarah Rejang antara lain adalah karena belum ditemukannya prasasti atau situs sejarah di daerah ini atau daerah lain, juga belum ditemukan catatan pengembara asing (kecuali beberapa orang Belanda dan Inggris pada jaman penjajahan) yang khusus menyebut Rejang atau Renah Seklawi atau sebutan lainnya yang merujuk ke Tanah Rejang, sehingga para ahli banyak merujuk informasi tambo atau kaba sebagai dasar sejarah Rejang. Meskipun sifat informasi tambo atau Kaba sering tidak memadai untuk digunakan sebagai sumber informasi sejarah karena tambo banyak mengandung kisah-kisah mitos, inkonsisten dan sering tidak memenuhi logika sejarah, tetapi sebagai informasi awal, tambo dapat dijadikan sebagai pembanding.

Pada tahun 1976, H Harun Nur Rasyid, Seorang Nindya wira Jaksa Purnawirawan Kejaksaan Kl 1 Palembang memproduksi ulang “Naskah tembo Rejang Pat Petulai” karya Moehammad Hoesein yang selesai ditulis tahun 1932. Sewaktu menyusun naskah tambo, Moehammad Hoesein menduduki jabatan Asisten Demang (setingkat Camat sekarang) dan beliau mencapai karir tertinggi sebagai gubernur Sumatera Selatan tahun 1960. Beliau adalah satu-satunya anak Rejang yang telah dapat menyusun sejarah suku bangsa Rejang. Mungkin inilah satu-satunya naskah yang menjadi acuan masyarakat Rejang untuk mengenal sejarahnya hingga sekarang.

Dalam Naskah Tembo Rejang Empat Petulai sejarah Rejang dikaitkan dengan Majapahit melalui  empat tokoh biku, yaitu Biku Sepanjang Jiwo, Biku Bermano, Biku Bembo dan Biku Bejenggo. Siapa sebenarnya empat orang biku tersebut, silsilah dan asal mereka belum sepenuhnya jelas, apakah benar mereka putra-putra Majapahit, atau mereka hanya biksu atau Paderi Budha yang menjalankan misi Dharma, apakah mungkin mereka adalah para Santri yang membawa Islam ke Tanah Rejang mengingat masa hidup mereka direntang abad akhir senjakala Majapahit dan terbitnya Kesultanan Demak di Jawa dan pada masa transisi sosial kepemerintahan Kerajaan Pagaruyung yang mulai beralih menganut Islam diakhir abad ke 12.

Titik temu sejarah Rejang dengan Pagaruyung mungkin dapat ditelusuri melalui Sultan Rajo Megat atau Tuan Rajo Jonggor. Dikutip dari Naskah Tembo Rejang Empat Petulai (1976) :

“Tuan Biku Sepanjang Jiwo tiada berapa lama menjadi raja di Marga Tubei lalu kembalilah ke Mojopahit, dengan tiada meninggalkan turunan di Lebong. Yang menjadi gantinya ialah Tuan Sulutan Rajo Megat atau Tuan Rajo Jonggor anak Raja dari Pagar Ruyung (Menurut keterangan Mibang Dusun Muara Ketayu Marga Suku IX  bahwa Tuan Biku Sepanjang Jiwo  ialah anak Raja dari Pagar Ruyung dan menantu dari Ratu Mojopahit. Bahwa beliau inilah yang dimaksud orang dengan Datu Imbang Jayo. Beliau ini dipanggil kembali ke Pagar Ruyung akan menjabat pangkat yang tinggi disana dan sebagai gantinya dia suruh pamannya Tuan Sulutan Rajo Megat yang dituduh bersalah membuat sumbang di Pagar Ruyung. Beliau ini kawin dengan Puteri Gilang adik Riyo Bilang di Dusun Pelabai).”

Petikan tembo diatas mengingatkan kita kepada Kisah Cindua Mato, dengan tokoh sentral Bundo Kandung, Dang Tuanku , Cindua Mato, Imbang Jayo, Tiang Bungkuk dengan latar wilayah Pagar Ruyung, Sungai Ngiang, Kurinci, Renah Sikalawi, dan Inderapura. Siapakah tokoh-tokoh tersebut dan bagaimana kaitannya dengan Sejarah Rejang,   mungkin akan lebih menarik jika kita telusuri dengan melihat profilnya dengan melacak silsilahnya , misalnya dengan menggunakan Ranji Silsilah Raja Pagaruyung.

Dalam Tembo Rejang Empat Petulai tidak banyak diuraikan mengenai Sulutan Rajo Megat , menurut Ranji Minangkabau beliau adalah anak Vijayavarman Maulivarmadewa(Maharaja Sakti) alias Dewang Pandan Putowano, cucu Ananggawarman (Devang Baremah Sanggowano) cicit Adityawarman (Devang Palokamo Rajo Deowano). Dikisahkan Tuanku Maharaja Sakti (Dewang Pandan Putowano =Vijayavarman Maulivarmadewa) dalam perkawinanya mempunyai sepasang anak, masing-masingnya Putri Panjang Rambut (II), kelak tercatat dalam sejarah sebagai seorang Raja Putri yang kontroversial. Sementara yang putra adalah Tuanku Rajo Bagindo Dewang Bano Rajowano, sebagai putra mahkota yang menolak untuk menaiki tahta kerajaan tetapi lebih suka menjadi Raja Muda di Ranah Sikalawi kawasan Rejang Lebong Bangkahulu yang wilayahnya sampai ke Sungai Pagu di Solok Selatan sekarang. Dalam Tambo tercatat sebagai Raja yang juga suka merantau, kemudian dikenal sebagai seorang raja yang mengislamkan penduduk Bugis sampai ke Sulu, di Sulawesi.

Pada halaman 27 Naskah Tembo Rejang Empat Petulai disebutkan : “….tidak berapa lamanya Tuan Biku Sepanjang Jiwo menjadi raja di Marga Tubai maka beliau kembali ke Mojopahit dan yang menjadi ganti beliau ialah anak Raja dari Pagar Ruyung Tuan Sulutan Rajo Megat, berkedudukan di Dusun Pelabai. Tuan Sulutan Rajo Megat ada beranak yaitu : 1.Tuan Rajo Mawang, 2. Putri Senggang. Dengan permaisuri yang lain, Tuan Sulutan Rajo Megat mendapat pula seorang putra yang dinamai Tuan Setio Kelawang.” Selain itu tidak banyak diungkapkan Tembo mengenai tokoh yang penting ini.

Jika Sulutan Rajo Megat nama lainnya adalah Sultan Saktai Rajo Jonggor (Dewang Bano Rajowano) saudara seayah-seibu dengan Puti Panjang Rambut II, maka ibunya adalah Puti Reno Bungsu Silinduang Bulan anak Ananggawarman dengan Puti Reno Dewi. Sedangkan Ananggawarman dikenal juga dengan nama Raja Barhamah atau Raja Nan Sati, (yang memerintah dari tahun 1377 s.d. 1414 masehi), adalah anak Adityawaraman (mangkat pada tahun 1376 Masehi) putra Dara Jingga dengan Kebo Anabrang seorang Senopati dari Singosari yang memimpin ekspedisi Pamalayu tahun 1275 masehi.

Pada masa pemerintahan Rajo Megat di Renah Seklawi Lebong, suasana politik di Pagaruyung sedang gaduh, karena proses suksesi yang tercatat dalam sejarah yang kontroversial. Tuanku Maharaja Sakti dalam perkawinanya mempunyai sepasang anak, masing-masingnya Putri Panjang Rambut (II), Sementara yang putra adalah Tuanku Rajo Bagindo Dewang Bano Rajowano, sebagai putra mahkota yang menolak untuk menaiki tahta kerajaan tetapi lebih suka menjadi Raja Muda di Ranah Sikalawi . Untuk mengangkat sang Putri menjadi Raja, kalangan pembesar istana merasa kesulitan dan ragu-ragu karena sang putri masih seorang gadis, belum lagi menikah. Oleh karena itu pilihan jatuh kepada Dewang Pati Rajowano Sultan Maharaja Hakikat, seorang putra yang alim ilmu, pendekar yang berwibawa dan memiliki ilmu pengetahuan yang luas dalam soal-soal pemerintahan kerajaan. Sang Putra ini adalah anak kandung dari Dewang Bonang Sutowano, kakak kandung Maharaja Sakti yang mendampingi Tuanku Syaikh Maghribi ke Gresik. Inilah awal dari sebuah misteri peristiwa besar yang kelak sempat mengemparkan Pagaruyung sebagai pusat jala negeri-negeri Pulau Emas, Sumatera. Apa pasalnya ?

Pertama, berawal dari adik kandung sang putri, Raja Bagindo yang menolak menaiki tahta kerajaan Pagaruyung, dan pergi ke Ranah Sikalawi, justru menjadi raja di sana.

Kedua, pengangkatan sang putri sebagai pengganti adiknya menaiki tahta, tidak dapat diterima oleh kalangan Basa Ampek Balai dan penghulu-penghulu orang-orang besar istana lainnya, karena sang putri dianggap masih gadis dan belum bersuami.

Ketiga, sebagai jalan keluarnya pilihan dijatuhkan kepada saudara sepupu sang putri, yakni Dewang Pati Rajowano Gelar Maharaja Hakikat (Raden Serdang) untuk menaiki tahta kerajaan dengan sarat harus mau menikahi sang putri. Syarat ini ditolak tegas-tegas oleh sang putri untuk kawin dengan saudara sepupunya sendiri. Walaupun selama ini sudah biasa terjadi dikalangan keluarga kerajaan, tetapi Putri Panjang Rambut tetap mendukung sepupunya untuk naik tahta tanpa harus menikahi dirinya.

Keempat, dibalik kemelut ini akhirnya terungkap pula berbagai keinginan tersirat di kalangan keluarga pembesar istana yang saling memperebutkan pengaruh untuk mendapatkan harta warisan tiga dinasty kerajaan dengan menjadikan putri ini sebagai kambing hitamnya.

Dan dengan tegas pula sang putri menyatakan hak-haknya, bahwa ia tidak berkeinginan menaiki tahta kerajaan, tetapi Istana di Ulak Tanjung Bungo dan Istana Silinduang Bulan yang didirikan oleh kedua orang tuanya, adalah harta warisan yang menjadi hak miliknya secara sah. Sedangkan istana Melayu Kampung Dalam, silahkan untuk kediaman resmi Maharaja Hakikat sebagai Maharaja Suwarnabhumi.

Kelima, ketika penobatan Maharaja Hakikat akan dilangsungkan, Putri Panjang Rambut yang diminta untuk menyatakan persetujuannya di hadapan pembesar istana dan masyarakat, justru ia yang didudukkan di atas tahta atas permintaan Maharaja Hakikat sendiri. Peristiwa itu tidak saja mengejutkan hadirin tetapi juga mengejutkan Putri Panjang Rambut sendiri.

Keenam, Maharaja Hakikat menegaskan bahwa tidak ada yang berhak atas tahta kerajaan itu selain dari pada Putri Panjang Rambut sendiri. Raja Baginda, adik kandung Putri Panjang Rambut, tidak berani campur tangan untuk menguasainya selama Putri Panjang Rambut masih hidup.

Ketujuh, juga dijelaskan oleh Maharaja Hakikat, bahwa diluar sepengetahuan para pembesar istana, Putri Panjang Rambut telah dipersiapkan dan dididik di dalam berbagai ilmu pengetahuan oleh Yang Dipertuan Daulat Tuanku Maharaja Sakti, termasuk mengenai ilmu pemerintahan, sebagai calon yang dipersiapkan untuk menggantikan baginda jauh-jauh hari sebelumnya.

Akhirnya Putri Panjang Rambut naik nobat, menduduki tahta kerajaan ditengah-tengah ketidak percayaan keluarga istana dan para pembesar kerajaan yang antipati atas kemampuan yang dimiliki seorang gadis istana seperti Putri Panjang Rambut. Walaupun mahkota kerajaan langsung dipasangkan oleh Maharaja Hakikat sendiri, yang secara tulus mengundurkan diri, dan menolak untuk naik tahta. Apalagi untuk menyaingi saudara sepupunya sendiri. Masyarakat, para pembesar istana, dan kerabat kerajaan menjadi cemas, jangan-jangan kemaharajaan yang telah dibangun kembali dengan susah payah oleh Daulat Yang Dipertuan Maharaja Sakti, kembali hancur gara-gara mahkota diserahkan kepada seorang wanita tanpa pendamping.

Sultan Rajo Megat memperistri Puteri Gilang adik Rio Bilang dari Dusun Pelabai. Tidak diketahui siapa putri Gilang ini, hanya disebutkan dari perkawinannya dengan Rajo Megat gelar Sultan Saktai Rajo Jonggor (Tuanku Rajo Bagindo Dewang Bano Rajowano) mereka memperoleh keturunan : Tuan Rajo Mawang dan Putri Senggang. Jika kita merujuk dengan informasi populer berkaitan dengan Renah sikalawi dan Rajo Megat dalam sejarah atau sastra Minang yang terdapat dalam Kaba Cinduimato, Tuanku Rajo Mawang bukanlah keturunan langsung atau anak Rajo Megat, tetapi Tuanku Rajo Mawang adalah anak Sultan Rumendung dengan Puti Bungsu. Lalu siapakah Sultan Rumendung, Puti Bungsu, Biku bermano dan Biku Sepanjang Jiwo ?. 

Bersambung. ... 

Sumber : Ki Ngabdulloh Santoso 

×
Berita Terbaru Update