-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

MELACAK TRAH MAJAPAHIT DI REJANG MELALUI PAGARUYUNG ; Part 2

Rabu, 07 Oktober 2020 | 10/07/2020 09:46:00 PM WIB | 0 Views Last Updated 2020-10-07T14:49:38Z



 Sultan Remendung ( Dewang Banang Raiwano = Biku Bermano )

“Sebagaimana kenyataan di tembo-tembo Rejang bahwa beliau ini (maksudnya Biku Bermano) yang ternama diantara 4  Tuan Biku itu dan beliau inilah yang menjadi Raja Bang Mego (marga) Bermani Lebong berkedudukan di Kota Rukam diantara dusun Kota Donok dan dusun Tes. Beliau ini kawin dengan Tuan Puteri Singgang anak Tuan Sulutan Rajo Megat Rajo marga Tubei di dusun Pelabai Marga suku IX sekarang.
Tuan biku Bermano wafat di Kota Rukam yang mana kuburannya diaku serta disebut oleh bangsa Rejang “Keramat Rukam”. Perkawinan Tuan Biku Bermano dengan Puteri Singgang beroleh 2 anak, seorang laki-laki bernama Tahta Tunggal dan seorang lagi perempuan bernama Tuan Puteri Dayang Jenggai.”(Tembo Rejang Empat Petulai).

Jika kita merujuk kepada sumber lain, misalnya informasi dari Kaba Cindua Mato, maka silsilah  Rajo Megat dan Puteri Singgang akan sedikit berbeda, karena ada tokoh lain yang tidak tertulis dalamTembo Rejang Empat Petulai, yaitu tokoh Sultan Remendung  yang Dalam Kaba Cindua Mato terkenal dengan sebutan Dang  Tuanku.

“Menurut cerita yang diturun-menurun di Tanah Hiyang, tradisi menceriterakan pada waktu acara Kenduri Sko bahwa Indrajati, Raja Minangkabau. Menurut perintah Raja tersebut harus memerangi Imbang Jayo, Raja Rejang Bengkulu. Sebab-sebab peperangan ini ialah:
Indrajati mempunyai putra yang bernama Remendung Tuanku Rajo Muda. Yang terakhir telah bertunangan dengan Putri Bungsu yang sangat cantik dan menarik perhatian Imbang Jaya yang juga melamarnya dan diterima tanpa memutuskan hubungannya dengan Remendung. Atas desakan Imbang Jaya perkawinanpun akan dilaksanakan.

Putri Bungsu, ketika dalam perhelatan yang diadakan ini dilarikan oleh Cindua Mato, seorang keluarga Remendung atas perintah yang terakhir (Remendung sendiri), ketika diketahui bahwa perkawinan akan dilangsungkan antara Putri Bungsu dan Imbang Jaya. Oleh karena itu terjadilah peperangan antara Indrajati dan Imbang Jaya dengan hasil yang tidak menguntungkan bagi Makhudum Indrajati, sehingga terpaksa lari dan mendapat tempat persembunyian di Kerinci, dimana kemudian ia mendirikan sebuah kampung yang oleh penduduk kemudian disebut sebagai kampung Tanah Hyang. Tentang Makhudum ini diberitakan bahwa ia tidak meninggal, tetapi menghilang di sekitar Tanah Hiyang. Tempat dimana ia menghilang itu dianggap keramat.

fhoto hanya ilustrasi
Itulah sebabnya kemudian Hiyang Indrajati dan pewaris-pewarisnya tetap memangku jabatan Suluh Bendang Alam Kurinci. Sementara istrinya Raja Perempuan Puti Panjang Rambuik yang lebih dikenal sebagai Bundo Kandung, Rajo Alam Minangkabau (dan setelah perang dengan Imbang Jayo dilarikan ke suatu tempat di Kerajaan Indrapuro) tetap tinggal memegang Tampuk Pulau Paco di Istano Pagaruyung, dan cucu Bundo Kandung yang bernama Raja Keminting tinggal di Pulau Sangkar. Itulah jawaban hubungan antara Minangkabau dengan Pulau Sangkar khususnya dan Kerinci umumnya.” (H. Aulia Tasman, 2017).
Untuk memperjelas kedudukan dan hubungan  para tokoh dalam Kaba  Cindua Mato, sesuai Ranji Minangkabau dan Tembo Rejang Empat Petulai dapat diuraikan sebagai berikut :

  1. Bundo Kandung (Putri Panjang Rambut II) Raja Alam Minangkabau adalah Adik Kandung Raja Megat ( Sultan Saktai Rajo Jonggor = Dewang Bano Rajowano),  Mereka adalah putra putri Tuanku Maharaja Sakti (Dewang Pandang Putrawana), cucu Ananggawarman (Dewang Baremah Sanggowano).
  2. Dang Tuanku'Sultan Remendung'  (Dewang Pandan Salasih Sri Raiwano) adalah Raja Pagaruyung, putra Bundo Kanduang dengan Bujang Salamat (Tuanku Bujanggo Salamat Panjang Gombak) alias Hyang Indera Jati dari dinasti Makhudum di Sumanik. Dia ditunangkan dengan Puti Bungsu, sepupunya, anak dari pamannya Rajo Mudo alias Sutan Saktai Gelar Rajo Jonggor. Dalam Tambo Rejang Empat Petulai anak perempuan  Rajo Megat bernama Putri Singgang  yang kawin dengan Biku Bermano. Dari dua sumber ini dapat di duga  Dang Tuanku’ Sultan Rumendung’ (Dewang Pandan Salasih Sri Raiwano) adalah Biku Bermano dan Istrinya  Putri Bungsu adalah Putri Singgang.
  3. Imbang Jayo adalah raja Sungai Ngiang, rantau Minangkabau sebelah selatan yakni di sekitar Sangir dan Kerinci. Dia berusaha merebut Puti Bungsu, yang sudah ditunangkan.

Dalam Blognya H Aulia Tasman menulis : Dalam satu versi sejarah, masyarakat Nagari Lunang, Pesisir Selatan, mengatakan, bahwa keluarga Bundo Kandung, raja yang mengirap itulah yang disebut keluarga pertama Mande Rubiah, yang kini mempunyai istana khusus di daerah itu.

Pembenaran ke arah ini, diperkuat dengan beberapa bentuk peninggalan bersejarah. Seperti adanya benda-benda kerajaan yang tersimpan rapi di rumah Mande Rubiah hingga sekarang. Selain benda pusaka dari piring cawan hingga senjata perang itu, juga terdapat di sekitar rumah Mande Rubiah, perkuburan tua. Pada perkuburan itu konon, dimakamkan Bundo Kandung dan anaknya Dang Tuanku beserta istrinya Puti Bungsu. Selain itu di sekitar rumah Mande Rubiah terdapat, kuburan Cindur Mato, yang dikenal dalam legenda Minangkabau sebagai seorang parewa yang ahli siasat perang.

Mungkin nama Dang Tuanku dan Cindur Mato serta Puti Bungsu tidak pernah ada dalam sisilah  keturunan Raja Pagarruyung, seperti diakui Puti Reno Raudha Thaib, salah seroang pewaris Kerajaan Pagarruyung.
Akan tetapi pembenaran yang dipakai versi ini, niat semula dari serumpun keluarga ini untuk mengirab, yaitu untuk menghilangkan sekalian jejak, supaya ke mana mereka pergi tidak diketahui. Karena itu pula sejak pertama kali jejak sejarah mereka ukir nama dan identitas pribadi pun diubah sedemikian rupa.

Pada versi lain, seperti orang yang pernah datang ke Lunang, mereka terkesan dengan suasana daerah di Pesisir Pulau Sumatra itu dan tentu akan berpesan kepada siapapun yang akan pergi ke Lunang, agar tidak lupa datang ke Rumah Gadang atau istana Mande Rubiah. Di Rumah Gadang yang terdapat di pinggir Batang Lunang itulah dibangun sejarah yang sampai kini masih belum dapat dikuak oleh para ahli sejarah atau disengaja untuk diakui karena sentimen daerah karena wilayah ini tidak digadang-gadangkan sebagai daerah istimewa yang termasuk dalam Luhak Nan Tiga (Tanah Datar, Agam dan 50 Kota) saja yang diagungkan sebagai titik mula sejarah Minangkabau. Apa sebenarnya yang terjadi ratusan tahun lalu di daerah itu.

Kaburnya sejarah Rumah Gadang Mande Rubiah, berkaitan erat dengan kaburnya sejarah Minangkabau sendiri. Banyak orang mengenal kerajaan di Minangkabau hanyalah Kerajaan Pagarruyung, padahal Kerajaan Pagarruyung hanya salah satu dari sekian banyak kerajaan yang pernah ada di tanah Minangkabau. Sebut saja Kerajaan Indopuro, Kerajaan Dharmasraya, Kerajaan Padang Laweh, Kerajaan Jambu Lipo dan Kerajaan Mande Rubiah. Kerajaan yang terakhir ini disebut-sebut sebagai pewaris tahta Bundo Kanduang yang dikenal sebagai Raja Perempuan Pagarruyung yang paling termasyhur dan melegenda di tengah-tengah masyarakat Minangkabau.

Sejarah tidak menemukan secara pasti bagaimana hubungan Kerajaan Pagarruyung dengan Kerajaan Mande Rubiah yang terletak di Nagari Lunang, Kecamatan Lunang Silaut, Kabupaten Pesisir Selatan dengan Kerajaan Pagarruyung yang terletak di Tanah Datar. Hubungan antara dua kerajaan besar ini diungkapkan dalam Kaba Cindua Mato yang sama melegendanya dengan Bundo Kanduang.
Menurut cerita rakyat Minangkabau itu, disaat terjadi pertempuran hebat antara Pagarruyung dengan Kerajaan Sungai-Ngiang (selama lebih kurang 23 tahun), Bundo Kanduang dengan beberapa pengikutnya mengirab (terbang) ke langit. Bahasa itu tentu hanyalah sebagai kiasan dari kenyataan yang sebenarnya bahwa Bundo Kanduang melarikan diri ke Nagari Lunang dan mendirikan sebuah kerajaan kecil di daerah itu. Pelarian merupakan hal yang lumrah bagi orang-orang yang kalah, tidak hanya di masa itu, akan tetapi juga di saat sekarang ini. Untuk menyembunyikan identitasnya, Bundo Kanduang menukar namanya dengan Mande Rubiah, yang kata awal bahasa itu dalam bahasa Minangkabau memiliki makna yang sama.

Bundo Kanduang bagi banyak ahli sejarah tetap saja sebagai tokoh yang misterius keberadaannya. Hal ini bisa jadi karena Minangkabau sebelum Islam masuk ke daerah ini tidak mengenal tradisi menulis, sehingga sejarah hanya diwariskan secara lisan dari mulut ke mulut. Tidak hanya sebatas itu akan tetapi sejarah pun dibungkus dalam bentuk cerita yang disebut di Ranah Minang sebagai Kaba.

Di Lunang juga terdapat komplek makam Bundo Kanduang, Dang Tuanku, Puti Bungsu, Cindua Mato dan beberapa pengikutnya. Kuburan Bundo Kanduang, Dang Tuanku, Puti Bungsu dan beberapa orang pengikutnya terletak dalam satu komplek. Sementara itu kuburan Cindua Mato terpisah hampir satu kilometer dari komplek makam Bundo Kanduang. Entah mengapa makam Cindua Mato terpisah dari komplek makam yang Bundo Kanduang, yang penting semua makam manusia-manusia yang sering dijumpai dalam mitos Minangkabau itu sama-sama dikeramatkan.
Dari semua makam itu yang juga sangat menarik bagi pengunjung adalah nisan-nisan di setiap kuburan itu yang unik. Nisan yang tidak biasanya dijumpai di Minangkabau itu khabarnya didatangkan dari Aceh, makanya orang-orang setempat juga menyebutnya sebagai Nisan Aceh. Bentuk nisan itu seperti penggada Bima yang sering dijumpai di film-film. Mempunyai ukiran yang tidak terpikirkan oleh manusia sekarang bagaimana cara orang-orang dimasa ratusan tahun lalu itu membuatnya.

Bundo Kanduang, yang kemudian berganti nama menjadi Mande Rubiah, sampai sekarang tahta kebesarannya masih berlanjut hingga Mande Rubiah VII. Keberadaan Mande Rubiah sebagai penerus kebesaran Bundo Kanduang diakui di tengah-tengah masyarakat tidak hanya di Nagari Lunang, akan tetapi sampai ke daerah-daerah yang pernah dipengaruhi oleh kekuasaan Minangkabau seperti Indopuro, Muko-Muko (Bengkulu), Jambi, dan Palembang. Bahkan sampai sekarang masih ada masyarakat dari Air Bangis, yang mencari nenek moyang mereka ke Nagari Lunang.(40 Km dari Lebong).

C.DATUK IMBANG JAYO

Synopsis  Kaba Klasik Minangkabau yang ditulis Dalam MALPU 145 oleh H. Aulia  Tasman :

“Rajo Mudo, raja Sikalawi memutuskan pertunangan anaknya Puti Bungsu dengan Dang Tuanku. Ia mendapat kabar bahwa Dang Tuanku telah menderita penyakit yang tidak bisa disembuhkan lagi dan telah diusir dari istana Pagaruyuang.

Lalu Rajo Mudo berniat akan menjodohkan Puti Bungsu dengan Rajo Imbang Jayo anak dari Rajo Tiang Bungkuak. Rencana Rajo Mudo ini sampai juga kabarnya ke Pagaruyuang. Kalangan Ustano Pagaruyuang mengutus Cindua Mato ke Sikalawi membawa kerbau Si Binuang sebagai hantaran atas perkawinan Puti Bungsu dengan Rajo Imbang Jayo.
Diceritakan oleh pengarangnya, dalam perjalanannya menuju nagari Sikalawi itu Cindua Mato dihadang oleh gerombolan perampok di Bukit Tambun Tulang. Bagaimana sikap Rajo Mudo mendengar kedatangan Cindua Mato yang disangkanya Dang Tuanku, dan bagaimana marahnya Rajo Mudo serta Rajo Imbang Jayo setelah mengetahui bahwa Cindua Mato dan Puti Bungsu hilang setelah terjadi kekalutan di Sikalawi.

Kedatangan Cindua Mato bersama Puti Bungsu di Padang Gantiang membuat gempar kalangan Ustano Pagaruyuang. Mereka tidak dapat menerima keadaan ini. Cindua Mato didakwa telah melarikan Puti Bungsu dan telah mempermalukan Pagaruyuang. Bundo Kanduang dan Basa Ampek Balai sepakat akan memberikan hukuman kepada Cindua Mato. Namun tidak ada kesepakatan apakah perbuatan Cindua Mato tersebut adalah tindakan yang melanggar hukum adat.

Sehingga Dang Tuanku memutuskan:
Utang ameh dibayia ameh
Utang nyawo dibayia nyawo
Utang malu dibayia jo malu
Mahimbau mangko manyahuik
Batanyo mangko dijawab.

Hilangnya Puti Bungsu dari Sikalawi membuat berang Rajo Imbang Jayo. Bersama ribuan balatentaranya ia menuju Pagaruyuang. Dalam perjalanannya itu ia dihadang oleh para penyamun di Bukit Tambun Tulang. Akibatnya banyak rakyatnya yang mati. Sampai di Tabek Patah ia pun dihadang oleh Cindua Mato. Dalam peperangan itu Cindua Mato, kuda Si Gumarang dan kerbau Si Binuang mengamuk sejadi-jadinya sehingga Rajo Imbang Jayo dengan rakyatnya mengambil langkah seribu. Mereka lari terbirit-birit menyelamatkan diri dan akhirnya sampai ke Padang Gantiang. Di Padang Gantiang ini Rajo Imbang Jayo dihukum mati oleh Rajo Duo Selo karena kesalahannya menggaji para penyamun di Bukit Tambun Tulang.

Berita kematian Rajo Imbang Jayo sampai pula ke telinga bapaknya Rajo Tiang Bungkuak. Alangkah marahnya Tiang Bungkuak. Ia pun segera ke Pagaruyuang untuk menuntut balas atas kematian anaknya Rajo Imbang Jayo. Maka terjadilah peperangan. Dubalang lawan dubalang, pangulu lawan pangulu, pegawai lawan pegawai, dan Tiang Bungkuak berhadapan dengan Cindua Mato.

Dalam perkelahian itu tidak ada yang kalah. Keduanya sama-sama sakti dan kebal terhadap senjata apapun. Akhirnya Cindua Mato menyerahkan diri kepada Tiang Bungkuak atas pertimbangan untuk memperkecil bencana yang mungkin akan menimpa rakyat Pagaruyuang. Ia pun dibawa ke Sungai Ngiang menjadi budak Tiang Bungkuak. Dalam satu kesempatan ia berhasil mengetahui di mana kelemahan Tiang Bungkuak. Tiang Bungkuak hanya bisa terbunuh dengan sebilah keris yang disimpannya di atas tonggak bungkuk. Dengan keris itulah Cindua Mato berhasil membunuh Tiang Bungkuak dalam suatu pertarungan yang disaksikan oleh Rajo Mudo dan permaisurinya serta rakyat Tiang Bungkuak.”

Dalam Tembo Rejang Empat Petulai, kasus seperti yang diceritakan dalam kaba Cindua Mato tidak diungkapkan. Hanya di ceritakan bahwa “Tuan Biku Sepanjang Jiwo tiada berapa lama menjadi raja di Marga Tubei lalu kembalilah ke Mojopahit, dengan tiada meninggalkan turunan di Lebong. Yang menjadi gantinya ialah Tuan Sulutan Rajo Megat atau Tuan Rajo Jonggor anak Raja dari Pagar Ruyung (Menurut keterangan Mibang Dusun Muara Ketayu Marga Suku IX  bahwa Tuan Biku Sepanjang  Jiwo ialah anak Raja dari Pagar Ruyung dan menantu dari Ratu Mojopahit. Bahwa beliau inilah yang dimaksud orang dengan Datu Imbang Jayo. Beliau ini dipanggil kembali ke Pagar Ruyung akan menjabat pangkat yang tinggi disana dan sebagai gantinya dia suruh pamannya Tuan Sulutan Rajo Megat yang dituduh bersalah membuat sumbang di Pagar Ruyung. Beliau ini kawin dengan Puteri Gilang adik Riyo Bilang di Dusun Pelabai).”

Kesesuaian kedua tembo ini adalah bahwa Biku Sepanjang Jiwo semula menjadi Rajo Jang kemudian di gantikan oleh pamannya (Rajo Megat Sultan Saktai Rajo Jonggor), beliau kembali ke Pagar Ruyung dan tidak meninggalkan keturunan di Rejang. Informasi ini menarik, karena perseteruan antara Bundo Kanduang (Puti Panjang Rambuik II) dan Rajo Megat dan perseteruan Dang Tuanku (Sultan Rumendung) dan Datuk Imbang Jayo bukan sekedar masalah pertunangan Putri Bungsu dengan Dang Tuanku saja, tetapi berkaitan dengan masalah-masalah kekerabatan menurut tradisi minang (matrilineal), masalah harga diri keluarga, adat, dan lebih jauh berkaitan dengan politik dan kelanjutan tahta Pagar Ruyung  dalam transisi sosial dengan semakin kuatnya pengaruh Islam dalam kalangan kerabat istana.

Jika kita berkesimpulan bahwa Datuk Imbang Jayo adalah tokoh Biku Sepanjang Jiwo dalam sejarah Rejang, maka kepulangan beliau ke Pagar Ruyung  dan menyerahkan  kekuasaan kepada Rajo Megat  bukan tanpa alasan, tetapi sebagai sebagai sasaran antara untuk target politik yang lebih panjang, yaitu penguasaan tahta Pagaruyung dikemudian hari.  Rajo Megat adalah pewaris tahta Pagaruyung, perkawinan Puteri Bungsu (Puteri Singgang) dengan Datuk Imbang Jayo (Biku Sepanjang Jiwo)  merupakan perkawinan politik untuk mengukuhkan  Dinasti Mahudum Sumanik.  Datuk Imbang Jayo adalah Putera Rajo Kurinci  (Sungai Ngiang) bernama Tiang Bungkuk (Gelar Rio Dipati) adalah anak dari adik sepupu dari Bujang Salamaik (Bujanggo Panjang Gombak). Oleh karenanya Bundo Kandung  berkepentingan untuk mempertahankan perjanjian pertunangan Dang Tuanku dengan Puteri Bungsu. Datuk Imbang Jayo ( Biku Sepanjang Jiwo) tidak meninggalkan keturunan di Rejang maupun di Kurinci (Sungai Ngiang) karena beliau gugur dalam peperangan melawan Cindua Mato (Dewang Sri Ramawarna)

Bersambung....... 

Sumber : Ki Ngabdulloh Santoso




×
Berita Terbaru Update